Kepada Nafilah, diri dalam diriku
Sudah jam berapa ini? Ini sudah dini hari Nafil, kenapa belum juga mengantuk? Ayo lekas tidur, kamu masih ingat kan? besok pagi-pagi benar kamu harus mandi dan siap-siap pergi. Jangan tanya ke mana, langkah kaki tidak selalu menginjak tempat yang indah karena kau mengerti tempat itu sebelumnya. Kan?
Ah, kalau kamu masih juga belum mengantuk, aku temani kamu saja ya.
Apa yang akan kita lakukan atau pikirkan atau diskusikan atau rencanakan dini hari yang kelu ini Nafil? Aku ikuti maumu saja ya? Aku tahu sesekali kamu sangat suka dituruti.
Iya baik jika kamu mau aku mendongeng. Dengar baik-baik ya ceritaku. Aku tak pandai mengulang cerita, jika nanti suatu hari kamu meminta cerita yang sama, aku tak kan bisa melakukannya. Nafil, aku juga sama sepertimu tentang cerita atau sudutpandang. Nafil, aku bisa membacamu, sepertimu padaku. Sudah, dengar-dengarlah dulu aku bercerita yaa ..
Namanya bahagia Fil, kamu tahu kan?
Ingat? saat-saat pertama kamu bisa naik sepeda lalu seharian penuh kamu tak mau berhenti mengendarainya. Ingat? Saat pertama kamu punya keponakan baru? Ingat? Saat Ibumu pulang dari Jakarta dan membawakanmu sepasang sepatu berwarna biru? Ingat? Ketika kamu pernah ranking 1? Ingat? Ketika, siapa namanya dulu Fil? Anak kecil seusiamu yang rajin mengirimu surat? Aku lupa, sengaja melupakannya, usiamu terlalu kecil dan kamu memang tak peka pada hal-hal begitu kan dulu? Tapi kau bahagia bukan? Ingat? Ketika teman-temanmu memberikan kejutan diulang tahunmu? Ingat? Ketika dia, dia, dia, dan dia mengatakan perasaannya padamu? Namanya bahagia Fil, kamu sudah begitu lancar mengejanya kukira.
Kemudian luka Fil, kamu juga sangat tahu kan?
Suatu hari aku duduk bersama Bapakmu, dan dia berkata "Nanti, kamu lulus kuliah dulu, baru Bapak naik haji." Aku menangis semalaman setelah itu di kamar dengan isak yang tertahan. Perih bukan Fil?
Dihari dan bulan yang jauh-jauh dari air mata itu, seorang sahabat tidak datang ketika kau sangat membutuhkannya. Merasa menghadapi getir sendiri tanpa ada alat peraba. Pada sebuah perjalanan aku menangis, mengelus retak dengan terbata. Luka bukan fil?
Pada suatu tahun, hari dan bulan yang lalu. Ketika sebuah stasiun menyaksikan jemariku yang mendingin dan tatapan mataku yang nanar. Sementara seseorang disampingku terlalu sama-sama menderita untuk mengurai kata. Aku diam, menggigit bibir bawahku yang bergetar dan sekuat tenaga menahan laju butiran tangis diujung mata. Sakit bukan Fil? Lalu belajar mengikhlaskan dan diikhlaskan luka.
Lalu, ketika aku belajar cemburu. Membiarkan hatiku yang lama angkuh untuk jujur dan membiarkan dinding kokohnya meluntur perlahan. Perih bukan Fil? Aku sekarang tahu kenapa diriku dulu membentuk diri menjadi begitu jumawa, karena memang sangat luka cemburu itu. Bukan begitu Fil? Jujurlah pada dirimu sendiri, seperti dongengku malam ini.
Nafil, aku mau bercerita banyak padamu malam ini. Masihkah telingamu mendengarkanku? bukankah kamu selalu mengaku pandai mendengarkan? Kenapa seringkali tidak padaku? Padahal aku bagian darimu Fil, Pelengkap keutuhanmu.
Nafil, satu hal yang ingin kukatakan padamu. Kau ingat bukan tentang guru bahasamu ketika SMP dulu? Iya, dia yang berkepala botak. Fil, kenapa kamu mulai melepas yang ingin kamu genggam erat? Kamu ingat Bapak itu pernah berkata, "Nafil, Bapak suka cita-citamu. Ah, bukan suka namanya tapi percaya. Tapi jangan mudah lelah, apalagi bosan."
Nafil, kamu sedang apa sekarang?
Lihat tanganmu dan teliti apa saja yang sudah hilang dari sana?
Kamu masih tak melihat Fil?
Kukira kamu mulai buta ..