Tak pernah terpikirkan sebelumnya aku akan melewati jalanan ini dengan rasa semenyakitkan ini. Tidak, aku biasa saja. Seperti biasanya aku akan datang dan pergi begitu saja. Ke kotamu hari ini menyisakan pahit yang entah dari mana asalnya. Tidak ada yang lebih hebat dari hari ini untukku, ke kotamu dengan sangat teramat biasa saja.
Stasiun, peron, loket, harga karcis, menunggu kereta datang, suasana ramai stasiun masih begitu sama rasanya. Tempat ini masih begitu ramai akan orang-orang yang entah mau ke mana saja tujuan mereka. Kepalaku pun begitu ramai, sibuk dengan pikiran yang membawaku mengembara jauh dari tempat ini.
Dan kereta datang, kereta murah dengan aroma khas menyajikan pemandangan yang hampir selalu sama tiap harinya, penuh sesak. Orang-orang ribut mencari tempat duduk, aku berjalan pelan menyusuri gerbong kereta. Tak pernah sepelan ini, tak pernah terasa begitu begini ini. Kekotamu, hari ini.
*
"Kita putus saja," Katamu.
"Kenapa?"
"Kamu tahu alasannya, aku sudah lelah. Aku sudah berusaha memperjuangkanmu, tapi orangtuaku tak pernah berubah pikiran. Percuma saja,"
"Tapi kenapa? Katamu pasti bisa? Kenapa kamu menyerah?"
"Aku capek terus begini, kita tak akan bisa hidup cuma dengan cinta. Itu tidak cukup."
"Kamu bohong katanya mau terus memperjuangkan hubungan kita."
"Aku sudah terlalu lama berjuang untuk sebuah kesia-siaan."
Adakah kata sia-sia dalam cinta? cinta atau tidakkah kamu terhadapku? Hanya itu masalahnya.
*
Aku duduk di dekat jendela dengan pemandangan yang masih itu-itu saja dari dulu. Dan bayanganmu yang mulai muncul dengan rupa berbeda-beda. Kadang begitu manis, begitu baik, begitu penuh tawa namun terganti menjadi begitu jahat, membawa luka, menorehkan perih. Ah.
Sudah berapa kali aku di kereta ini bersamamu? Aku lupa. Duduk bersebelahan berbicara banyak hal, tertawa, mengantuk, tertidur kemudian bangun terkaget karena kita kira kebablasan. Sudah berapa banyak kita lewati waktu bersama disepanjang tahun-tahun kebersamaan kita? Aku lupa. Saling merindukan, saling marah, saling benci, saling memaafkan kemudian. Sudah berapa kali kita begitu? Aku lupa.
Senja datang dengan warna merona merahnya yang manis. Tak bisa lagi aku merasakan manisnya senja, hanya guratan-guratan tak beraturan. Aku di sini, digerbong yang mungkin pernah kita singgahi bersama. Jalanan, bisakah membawaku jauh berputar dari angan yang terlalu memburuku ini?
*
"Aku bisa berubah, aku akan menjadi lebih baik. Aku mohon, jangan akhiri hubungan kita," Aku pernah begitu tak peduli dengan apa itu harga diri. Untukmu, pikirku. Untuk kita.
"Tidak bisa, ini masalahnya bukan sikap. Aku tahu kamu bisa jauh lebih baik. Tapi ini lain."
"Lalu apa? Apa masalahnya?"
"Lalu apa? Apa masalahnya?"
"Kamu bukan orang yang diinginkan mereka. Sudahlah, memang tidak bisa lagi."
Sebegitu mudahnya untukmu, lupa kamu pada apa yang terlalu banyak kita lewati bersama? Lupa kamu pada hari-hari yang sudah kita jejali dengan kenangan bersama? Lupa kamu? Atau sengaja melupakan?
*
Kereta ekonomi nan penuh sesak ini berjalan terasa begitu lamban, seperti semakin membuat memori tentangmu berjajar di luar jendela yang begitu dekat namun tak tersentuh. Aku tahu, kamu telah begitu bahagia. Aku pun sedang mencarinya, kebahagiaan. Satu hal darimu yang membuatku terluka, harapan. Kamu terlalu tak mengerti bagaimana aku berharap padamu, tentang kebersamaan kita yang begitu indah dianganku. Tentang kamu, yang dulu bahkan tak pernah berhenti aku banggakan.
Kamu merubahnya semua. Semua arti dan pengartian yang ada menjadi begitu terbalik sekarang. Aku baru tahu, sebearapa lama kita mengenal seseorang ternyata tetap tak akan memahaminya secara utuh. Sama sekali aku tak berpikir kamu orang yang akan melakukan hal seperti ini padaku. Kamu melukaiku, jauh-jauh lebih dari sekedar luka yang bisa kamu bayangkan.
*
"Selamat ya buat kekasih barunya, semoga langgeng," kataku suatu hari.
"Iya, makasih ya,"
"Sama-sama,"
"Aku direstui lho sama orangtuaku,"
"Oh bagus, selamet deh."
Pernah mencintaiku kamu? Yakin pernah? Ingat-ingat lagi, aku yakin tidak.
*
Sebentar lagi kereta ini akan sampai di tempat di mana biasanya kamu datang menjemputku. Aku sudah lupa rasanya mengharapmu, benar-benar lupa. Semua terasa begitu hambar, aku telah bersahabat dengan ketidakmungkinan. Dan kamu membuatnya menjadi lebih mudah dengan begitu menyinggung rasaku.
Aku memang tak pernah berfikir kamu akan begitu melukaiku. Tapi aku juga tak pernah berpikir akan semudah ini melepasmu, melepas semua harapan tentangmu. Aku bisa melakukannya, lebih mudah dari yang aku bayangkan.
*
"Ini akan menjadi yang terakhir aku menghubungimu," Katamu.
"Iya,"
"Kamu jaga diri baik-baik,"
Jagalah dirimu sendiri dengan baik-baik, aku dewasa sekarang. Aku lebih dari sekedar yang kamu kenal. Pergilah tanpa perlu menjelaskan apa pun.
*
Dan aku benar-benar menginjakkan kaki lagi di sini. Semua masih begitu sama, masih begitu penuh warna. Kecuali satu hal yang telah berubah, rasanya.
Aku datang ke kotamu, bukan untukmu, bukan untuk apa pun. Untuk meyakinkan diriku sendiri, aku baik-baik saja. Sangat baik-baik saja.
cerita yg sangat menyentuh
BalasHapushehehehe ,, :D
BalasHapusspechless pemilihan kata dan alur cerita nya mantep, bakat nulis
Hapusinspired by true story masalahe mas .. :p
BalasHapuskenangan itu indah karena kejadian itu ga bisa terulang, coba kamu bkin story kaya sepasang kaos kaki hitam mungkin hasilnya bakal bagus, klo blm baca cari di kaskus sepasang kaos kaki hitam trs baca deh semoga bisa menginpirasi tulisan tulisan km. dan syp tau km bisa nerbitin buku sendiri
Hapusamin mas soal nerbitin buku sendirinya .. tapi nulis itu gag boleh kayak orang lain .. jadi diri sendiri itu lebih baik .. :D
BalasHapusaq udah baca sepasang kaos kaki hitam kok mas, tau dr gembul dulu ..
bukan cara nulisnya yg ak maksud, tapi bikin story yg lengkap dari awal kisah sampai akhir
Hapusiya, ngerti .. kalo begitu berasa buku harian mas .. kayak blog radityadika .. kalo cerpen emang ada bagian2 yang gag ditulis secara lengkap, biar pembaca dikasi ruang imajinasi sendiri .. :D
BalasHapus