Bacaaa yuuukkk ....

Belajar ,, dari yang biasa .. biasa saajjjaaaa ,, sampe jadi luarr biasaa ..

Sabtu, 07 Juli 2012

Tiba - Tiba

     "Boleh saya numpang di sini?" Tanyaku padanya, dia hanya menoleh kemudian mengangguk.
     "Apa benar Saudara tidak apa-apa kalau saya menumpang?" Dia mulai heran, menoleh lagi dan mengangkat alis sebelah kirinya.
     "Numpang apa Mbak?" Akhirnya dia bertanya.
     "Saya mau menumpang menangis di sini, boleh?"
Dia diam, menggeser duduknya memberikan tempat dudu kuntukku.
*
      Semua terjadi dengan sangat tiba-tiba, setiba-tiba hujan di musim kemarau. Sangat tiba-tiba, setiba-tiba kabar kematian yang tak pernah diduga. Sangat tiba-tiba dan harus diterima. Bukan, ini bukan tentang sebuah kematian, meski hampir sama artinya. Kematian, akan menyisakan kehilangan bagi yang ditinggal mati, dan kehilangan akan melahirkan kenangan. Kehilangan dan kenangan adalah bayi dan ari-ari yang rapat dirahim ibu. Begitu pun kamu, kamu memang tidak mati, tapi kamu hilang, kemudian kenangan. Tiba-tiba.
       Mungkin kamu memang suka segala sesuatu yang tiba-tiba, kamu suka memberikan kejutan. Kenapa? Aku tak mau lagi tahu kenapa, bukan urusanku Tapi ketiba-tibaan yang kamu hadirkan dalam hariku telah meremukkanku jadi berserpih-serpih rasanya. Terserahmu lah, akhirnya aku hanya bisa berkata begitu. Benar, pembendaharaan kata dalam hidupku akhirnya hanya tertuju pada satu frasa: terserahmu lah!

*
      Hari ini aku menunggumu, aku sudah sangat rapi setidaknya menurutku. Semenit, dua menit, tiga meniti, satu jam, dua jam, tiga jam dan kamu tak kunjung datang. Aku masih menunggumu, dengan rapi setidaknya menurutku meski pun kamu tak kunjung datang. Aku yakin kamu datang. Tiga jam, empat jam, lima jam, sehari, dua hari dan kamu masih belum datang. Aku diam, merenung.
      "Kamu lupa?" Tanyaku pelan, lirih.
      "Tidak, maaf aku tak sempat mengabarimu, ada yang harus aku kejakan." Katamu tak kalah pelan.
      "Ya sudah."
     Aku ingin marah tapi tak bisa. Ada jarak yang selalu meleburkan marah, yang selalu memendamkan marah. Dan aku tak pernah marah. Masih kurang kah?
*

     Dia diam saja mendengar isakanku, dia malah berpura-pura tak tak terjadi apa-apa. Aku tak bisa berhenti menangis, setidaknya belum bisa untuk saat ini. Cukup lama. Aku menangis dan dia diam.
*

       Ketiba-tibaan ini membuatku mengerti bahwa memang manusia selalu dibatasi kepemilikan yang penuh bahkan terhadap harapan. Aku mengerti, sangat mengerti tapi aku tak bisa lagi merasakan apa-apa. Ketiba-tibaan mematikan rasaku, aku tak bisa lagi merasakan getar yang aneh, tak bisa merasakan kelunya rindu, tak bisa merasakan hangatnya cemburu, benar aku tak bisa. Katakan padaku bagaimana maka aku akan mencoba. Hapus, hapus ketiba-tibaan ini. 
      Seharusnya aku sempat mempunyai kesempatan untuk melakukan yang kusuka. Membuat semua terserahku bukan terserahmu, tapi aku memilih tak melakukannya. Kenapa? Karena aku tak bisa. Aku tak bisa berpura-pura tidak mengharapkanmu. Aku memang selalu jujur, bahkan saat ini ketika aku telah menjadi hancur. Aku masih jujur.
*
        "Kenapa?" Tanyaku tak bisa menyembunyikan kekecewaanku ketika ia mengatakn hal itu.
     "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Bukan kah ini yang terbaik?" Kamu sama sekali tak menoleh padaku saat itu.
        Aku diam, aku memang selalu harus diam karena kamu tak pernah memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Iya, kamu memilih untuk pergi dan silahkan. Silahkan pergi sejauh-jauhnya, tak akan aku menghalang-halangi yang ingin pergi. Tidak juga kepadamu. Pergilah.
*
        Masih seperti tadi. Aku terus tersedu-sedu dan dia hanya diam menekuri dirinya sendiri atau entah apa yang dia kerjakan. Aku tak peduli seperti dia juga enggan untuk peduli padaku.
*
        Ketiba-tibaan pula yang mengajari aku untuk mengalah. Bukan, mengajari aku untuk menerima saat aku kalah. Aku sudah lama kalah, kalah pada diriku sendiri dan saat ini aku harus berdamai dengan diriku sendiri untuk memperbaikinya. Aku belajar, memang sulit untuk melupakan kenangan dari sebuah kehilangan. Aku belajar: sulit, karena seringkali yang tumbuh dalam kenangan adalah hal-hal yang indah. Seperti pada manusia, otak kanan seringkali berkembang lebih pesat dari pada otak kiri atau sebaliknya. Seperti terkadang kecerdasan tidak dibarengi etika atau sebaliknya. Dan yang pahit seringkali terlupa.
      Yang pahit itu harus mulai tumbuh juga bersama kenangan. Agar kenangan tumbuh dengan sehat serta seimbang. Begitu seharusnya.
     Kamu mungkin belum lahir sebagai kenangan, atau akan segera menjadi kenangan. Aku sudah mempersiapkannya, sejak ketiba-tibaan yang telah meremukkanku. serpihanku telah mulai mengumpul, aku telah terbiasa dengan yang tiba-tiba. Setiba-tiba kabar kematian, setiba-tiba kepergian dan kedatangan. Karena mati memang berhak untuk menjadi sebuah hal yang tiba-tiba tapi tidak dengan kelahiran! Tidak ada yang lahir dengan tiba-tiba seperti kenangan yang tak mungkin lahir tanpa kehilangan. 
*
        "Apa kabar kamu?" Katamu suatu hari.
       "Baik, kamu?"
       "Baik juga. Sudah lama ya?"
*
      "Mbak, boleh saya numpang?" Dia tiba-tiba bertanya, aku menoleh dengan mata membengkak.
      "Apa?" Tanyaku masih sambil terisak.
      "Saya mau numpang menghapus air mata Mbak."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar