Namanya Annisa, gadis
kecil berumur 4 tahun yang lucu. Wajahnya begitu manis, tak semanis hidupnya
memang. Ia masih begitu kecil untuk mengerti tentang hidup dan kehidupan. Ia
tak pernah tahu kenapa ia harus tumbuh, harus mengerti, harus menerima dan harus
hidup. Ia tak mengerti, yang ia tahu cuma ia menyukai bungkus warna-warni di
warung tetangganya yang berisi permen beraneka rasa. Ia masih sangat kecil,
sangat kecil untuk memahami apa yang harus ia terima.
Hidup bersama Kakek dan Nenek yang semakin menua dan
dijerat kemiskinan membuatnya sering ketinggalan banyak hal dari teman-teman
sebayanya. Ketinggalan? Bisa dikatakan sangat ketinggalan mungkin. Ia tak
mengenal susu formula, tak mengenal es krim rasa coklat, tak mengenal play
group dan tak mengenal pasar malam. Tapi ia sangat ceria, meski pun seringkali
menyembunyikan mukanya dibelakang kaki Neneknya tiap kali bertemu temannya yang
makan es krim atau meminum susu dari botol-botol bergambar tokoh kartun yang
tak ia kenal. Ia tak pernah berkata meminta pada Neneknya, ia tak mangerti,
terbiasa untuk menerima apa pun dengan diam.
Annisa, gadis pilihan Tuhan yang membuatku begitu iri. Tuhan
tahu Annisa istimewa, ia bisa bertahan dengan hidup yang tak pernah manis
kecuali ia sedang makan permen harga seratusan rupiah itu. Annisa sangat
istimewa, gadis luarbiasa yang dianugrahi Tuhan cobaan yang mampu ia tanggung
dengan usia sekecil itu. Senyumnya masih selalu mengembang, meski pun sering
menyisakan luka ditiap tatap mata orang-orang disekelilingnya. Dan aku, hanya
selalu bisa haru menatapnya tumbuh menjadi gadis lucu yang begitu kuat.
Bapaknya entah ke mana, hilang dengan begitu saja tanpa
ada cerita yang bisa diurut dengan benar. Tak ada yang salah, Ibunya menikah
dengan benar. Ke KUA didampingi kedua orangtuanya, namun Bapak Annisa tiba-tiba
menghilang. Tak ada yang tahu ia pergi ke mana, tak ada yang tahu bisa
menghubungi ke mana. Ibunya pun hanya bisa menangis berhari-hari kemudian,
namun juga akhirnya menjadi biasa saja. Tapi Annisa harus tetap hidup, dan
butuh uang untuk hidupnya. Ibunya tahu, itu, ia harus melakukan sesuatu.
Dan akhirnya hari itu datang, Ibunya entah mendapat
wangsit dari mana tiba-tiba mengemukakan keinginannya. Ia mau keluar negeri,
menjadi TKW. Iya, mau menjadi Tenaga Kerja Wanita untuk mendapat uang agar
Annisa tetap bisa hidup dengan baik dan layak meskipun tanpa Bapak. Tidak ada
yang bisa menolak, orang tuanya meski pun berat tetap melepas anaknya untuk
pergi. Apalagi Annisa, baru 1,5 tahun usianya saat itu. Jelas ia hanya bisa
diam menatap Ibunya menyiapkan baju-baju dengan koper bekas yang sudah hampir
jebol disudut-sudutnya. Kemudian harus menangis beberapa hari tiap malamnya
mencari tetek Ibunya yang tak kunjung ia temukan. Annisa gadis itu, gadis kecil
yang sangat luar biasa.
Tidak tahu jika harus menjelaskan tentang kehidupan
Ibunya yang jauh di luar negeri sana. Kabar hanya datang beberapa bulan sekali,
kiriman uang pun tak pernah lancar. Tak ada yang mengubah hidup Annisa menjadi
lebih baik atau layak. Ia tetap tak bisa meminum susu formula seperti anak
seusianya yang lain.
Annisa punya kebiasaan baru, ia sering bangun dari
tidurnya tiap jam dua pagi atau sekitarnya. Neneknya sering mengtakan kalau
Ibunya merindukan Annisa makanya anak itu sering terbangun. Annisa semakin
jarang menagis, entahlah, ia lebih suka diam kalau sedang tidak tertawa. Hidup
yang tak ia mengerti telah membentuknya menjadi begitu. Annisa jelas belum
mengerti, belum mengerti kenapa ia berbeda, kenapa ia tak sama dengan anak-anak
seusianya yang ia lihat. Anak kecil berambut kemerahan itu tak mengerti apa-apa
kecuali bau kemenyan Kakeknya yang sering membuatnya sesak nafas.
Aku tidak mengerti, kenapa Annisa bahkan tak pernah
menanyakan Bapak dan Ibunya. Aku tak pernah mengerti kenapa gadis itu bahkan
tak pernah meminta apa pun kepada Kakek dan neneknya kecuali menerima apa pun
yang diberikan kepadanya. Aku tak mengerti hati bagaimana yang tumbuh dihati
anak sekecil itu. Aku tak mengerti, kecuali haru yang semakin menusuk tiap kali
melihatnya tersenyum ramah pada tiap orang. Aku luluh, menatap hidup pahit yang
tetap ia senyumi ditiap detiknya. Annisa, tumbuhlah semakin manis tiap harinya.
Hari itu datang, Ibunya pulang membawa berkopor-kopor
barang. Annisa senang, meski pun lebih terlihat biasa saja. Ibunya kurus, jauh
lebih kurus dari ketika ia belum ke luar negeri. Ia pulang membawa tabungan
yang tak seberapa dan cerita-cerita pilu menyedihkan. Beberapa orang hanya bisa
mengelus dada mendengar cerita yang mengalir dari perempuan kurus itu. Dan malah
beberapa lainnya menggunjingkannya. Aneh, budaya apa yang tumbuh di tempat ini.
Cerita menyedihkan pun menjadi bahan hinaan yang tak patut. Aku miris.
Tidak ada yang tahu bagaimana Tuhan membawa kehidupan
pergi dan datang begitu saja. Ibunya meninggal, ia membawa sakit dari tempat
kerjanya. Baru dua minggu perempuan kurus itu merasakan menimang anaknya
kembali tapi ia harus sudah pergi lagi. Pergi untuk tidak kembali, pergi untuk
meninggalkan yang hidup. Kakek dan Nenek Annisa sudah cukup tua untuk terlalu
larut dalam kesedihan. Mereka sedih, namun lebih terlihat pasrah. Dan Annisa?
Gadis kecil itu hanya mentap tiap pelayat dengan tatapan tak mengerti. Sekali
lagi, ia tak mengerti atau entah sengaja tak mau mengerti. Ia tak menangis,
hanya diam saja di samping Neneknya yang tak berhenti membaca doa.
Dan malam-malam pun berlalu. Annisa masih selalu
terbangun di tiap dini hari. Neneknya tak tahu entah Ibunya atau siapa yang
merindukan Annisa. Atau entah siapa yang dirindukan Annisa. Disuatu dini hari
ketika ia terbangun, Annisa menemukan neneknya tengah sujud menangis di
sholatnya. Anak kecil itu mendekat, menatap mata neneknya yang banjir air mata.
Matanya begitu polos menyeka tetesan-tetesan air mta itu.
“Jangan menangis Nek, besok Nisa belikan permen ya?”
Bisiknya lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar