Bacaaa yuuukkk ....

Belajar ,, dari yang biasa .. biasa saajjjaaaa ,, sampe jadi luarr biasaa ..

Sabtu, 21 Juli 2012

Tak Semanis Permen


         Namanya Annisa, gadis kecil berumur 4 tahun yang lucu. Wajahnya begitu manis, tak semanis hidupnya memang. Ia masih begitu kecil untuk mengerti tentang hidup dan kehidupan. Ia tak pernah tahu kenapa ia harus tumbuh, harus mengerti, harus menerima dan harus hidup. Ia tak mengerti, yang ia tahu cuma ia menyukai bungkus warna-warni di warung tetangganya yang berisi permen beraneka rasa. Ia masih sangat kecil, sangat kecil untuk memahami apa yang harus ia terima.
            Hidup bersama Kakek dan Nenek yang semakin menua dan dijerat kemiskinan membuatnya sering ketinggalan banyak hal dari teman-teman sebayanya. Ketinggalan? Bisa dikatakan sangat ketinggalan mungkin. Ia tak mengenal susu formula, tak mengenal es krim rasa coklat, tak mengenal play group dan tak mengenal pasar malam. Tapi ia sangat ceria, meski pun seringkali menyembunyikan mukanya dibelakang kaki Neneknya tiap kali bertemu temannya yang makan es krim atau meminum susu dari botol-botol bergambar tokoh kartun yang tak ia kenal. Ia tak pernah berkata meminta pada Neneknya, ia tak mangerti, terbiasa untuk menerima apa pun dengan diam.

            Annisa, gadis pilihan Tuhan yang membuatku begitu iri. Tuhan tahu Annisa istimewa, ia bisa bertahan dengan hidup yang tak pernah manis kecuali ia sedang makan permen harga seratusan rupiah itu. Annisa sangat istimewa, gadis luarbiasa yang dianugrahi Tuhan cobaan yang mampu ia tanggung dengan usia sekecil itu. Senyumnya masih selalu mengembang, meski pun sering menyisakan luka ditiap tatap mata orang-orang disekelilingnya. Dan aku, hanya selalu bisa haru menatapnya tumbuh menjadi gadis lucu yang begitu kuat.
            Bapaknya entah ke mana, hilang dengan begitu saja tanpa ada cerita yang bisa diurut dengan benar. Tak ada yang salah, Ibunya menikah dengan benar. Ke KUA didampingi kedua orangtuanya, namun Bapak Annisa tiba-tiba menghilang. Tak ada yang tahu ia pergi ke mana, tak ada yang tahu bisa menghubungi ke mana. Ibunya pun hanya bisa menangis berhari-hari kemudian, namun juga akhirnya menjadi biasa saja. Tapi Annisa harus tetap hidup, dan butuh uang untuk hidupnya. Ibunya tahu, itu, ia harus melakukan sesuatu.
            Dan akhirnya hari itu datang, Ibunya entah mendapat wangsit dari mana tiba-tiba mengemukakan keinginannya. Ia mau keluar negeri, menjadi TKW. Iya, mau menjadi Tenaga Kerja Wanita untuk mendapat uang agar Annisa tetap bisa hidup dengan baik dan layak meskipun tanpa Bapak. Tidak ada yang bisa menolak, orang tuanya meski pun berat tetap melepas anaknya untuk pergi. Apalagi Annisa, baru 1,5 tahun usianya saat itu. Jelas ia hanya bisa diam menatap Ibunya menyiapkan baju-baju dengan koper bekas yang sudah hampir jebol disudut-sudutnya. Kemudian harus menangis beberapa hari tiap malamnya mencari tetek Ibunya yang tak kunjung ia temukan. Annisa gadis itu, gadis kecil yang sangat luar biasa.
            Tidak tahu jika harus menjelaskan tentang kehidupan Ibunya yang jauh di luar negeri sana. Kabar hanya datang beberapa bulan sekali, kiriman uang pun tak pernah lancar. Tak ada yang mengubah hidup Annisa menjadi lebih baik atau layak. Ia tetap tak bisa meminum susu formula seperti anak seusianya yang lain.
            Annisa punya kebiasaan baru, ia sering bangun dari tidurnya tiap jam dua pagi atau sekitarnya. Neneknya sering mengtakan kalau Ibunya merindukan Annisa makanya anak itu sering terbangun. Annisa semakin jarang menagis, entahlah, ia lebih suka diam kalau sedang tidak tertawa. Hidup yang tak ia mengerti telah membentuknya menjadi begitu. Annisa jelas belum mengerti, belum mengerti kenapa ia berbeda, kenapa ia tak sama dengan anak-anak seusianya yang ia lihat. Anak kecil berambut kemerahan itu tak mengerti apa-apa kecuali bau kemenyan Kakeknya yang sering membuatnya sesak nafas.
            Aku tidak mengerti, kenapa Annisa bahkan tak pernah menanyakan Bapak dan Ibunya. Aku tak pernah mengerti kenapa gadis itu bahkan tak pernah meminta apa pun kepada Kakek dan neneknya kecuali menerima apa pun yang diberikan kepadanya. Aku tak mengerti hati bagaimana yang tumbuh dihati anak sekecil itu. Aku tak mengerti, kecuali haru yang semakin menusuk tiap kali melihatnya tersenyum ramah pada tiap orang. Aku luluh, menatap hidup pahit yang tetap ia senyumi ditiap detiknya. Annisa, tumbuhlah semakin manis tiap harinya.
            Hari itu datang, Ibunya pulang membawa berkopor-kopor barang. Annisa senang, meski pun lebih terlihat biasa saja. Ibunya kurus, jauh lebih kurus dari ketika ia belum ke luar negeri. Ia pulang membawa tabungan yang tak seberapa dan cerita-cerita pilu menyedihkan. Beberapa orang hanya bisa mengelus dada mendengar cerita yang mengalir dari perempuan kurus itu. Dan malah beberapa lainnya menggunjingkannya. Aneh, budaya apa yang tumbuh di tempat ini. Cerita menyedihkan pun menjadi bahan hinaan yang tak patut. Aku miris.
            Tidak ada yang tahu bagaimana Tuhan membawa kehidupan pergi dan datang begitu saja. Ibunya meninggal, ia membawa sakit dari tempat kerjanya. Baru dua minggu perempuan kurus itu merasakan menimang anaknya kembali tapi ia harus sudah pergi lagi. Pergi untuk tidak kembali, pergi untuk meninggalkan yang hidup. Kakek dan Nenek Annisa sudah cukup tua untuk terlalu larut dalam kesedihan. Mereka sedih, namun lebih terlihat pasrah. Dan Annisa? Gadis kecil itu hanya mentap tiap pelayat dengan tatapan tak mengerti. Sekali lagi, ia tak mengerti atau entah sengaja tak mau mengerti. Ia tak menangis, hanya diam saja di samping Neneknya yang tak berhenti membaca doa.
            Dan malam-malam pun berlalu. Annisa masih selalu terbangun di tiap dini hari. Neneknya tak tahu entah Ibunya atau siapa yang merindukan Annisa. Atau entah siapa yang dirindukan Annisa. Disuatu dini hari ketika ia terbangun, Annisa menemukan neneknya tengah sujud menangis di sholatnya. Anak kecil itu mendekat, menatap mata neneknya yang banjir air mata. Matanya begitu polos menyeka tetesan-tetesan air mta itu.
            “Jangan menangis Nek, besok Nisa belikan permen ya?” Bisiknya lirih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar