Sari, katanya kau hilang? Aku tak percaya.
Kucing secerdas dirimu tak mungkin hilang, kau sengaja menghilangkan diri kah? Ke mana? Apa yang membuatmu sengaja meninggalkan kedua anakmu dan aku? Aku yang menistakan diri dengan begitu menyayangimu (kukira). Adakah yang salah dengan dirimu? Atau kedua anakmu? Atau lagi-lagi aku?
Sari, kau mungkin salah dengan langkah pergimu meski kau urung lalu kemudian ragu. Tapi pergi telah menciptakan jarak, kau, anak-anakmu dan aku. Aku! Sari, aku mencintai kembang telonmu dan ngeong-mu yang selalu terasa mendayu-dayu. Dan kau meninggalkanku begitu saja. Bahkan sekedar menungguku untuk menatap mata kecoklatanmu pun kau tak mau.
Sari, kamu yang tak pernah mengenal resah dan lelah ..
Sari, keresahanku seringkali berujung penderitaan. Bagaimana aku membuatmu juga merasakannya? Kau kadung mati rasa. Meski aku tahu kau tahu, tapi tahu saja tak cukup untuk memahami rasanya. Bahkan resah lama-lama menjadi pembunuh yang mengerikan. Di sini Sar, di celah-celah yang setiap resah menusuk seperti menuntut maut. Bagaimana kau bisa mengerti? Sementara kau telah menjejalkan langkahmu ke kurun waktu. Sari, masih tegakah kau tak kembali kerumahku? Sementara kau tahu aku didera resah tak bermuara. Anggap aku mengemis padamu, pada mata kecoklatanmu yang menua.
Sari, kamu yang tak pernah melahirkan luka ..
Di sini. Setiap yang merasa pasti penah melahirkan luka. Ada yang sengaja memilih waktu yang tepat. Ada yang menunda. Ada yang membiarkan. Sari, haruskah aku memprematurkan luka? Sari, kembali padaku dan katakan bagaimana luka harus kulahirkan. Kau tentu lebih tahu karena kau tak perlu susah payah melakukannya. Ah, kau sungguh tak tahu malu dengan meninggalkanku begitu saja. Aku tak tahu harus bertanya pada siapa selain padamu. Karena padamu, tanya seringkali berujung pemahaman dengan begitu meyakinkan meski kau mati rasa. Sari, kembali padaku.
Sari, kamu yang pernah mengajariku untuk sesekali menyerah.
Kebahagiaan itu bermacam. Mereka tercipta seringkali bercabang. Bahwa ibuku tak hanya mencintai aku karena ia pun begitu pada ketiga kakakku. Bahwa sahabatku tak hanya menggenggam tanganku karena ia juga melakukannya pada sahabatnya yang lain. Bahwa guruku tak hanya membagi ilmunya padaku karena ia juga membagi ilmunya pada ratusan murid lain. Bahwa Tuhan tak hanya mengasihiku karena Ia juga melakukannya pada setiap umatnya. Bahwa dia tak hanya begitu padaku karena dia juga bisa (lebih) begitu pada orang lain.
Kau mengerti kan Sari? Kenapa aku begitu membutuhkanmu?
Harusnya kamu tak memilih menghilangkan dirimu.
Sari, hujan di sini tak sama seperti hujan dihari ketika kita melewatkan sore bersama ,,,
Kalau kau ingat hari itu. Suatu hari dimana hujan begitu lesu memeluk kita pada satu senja yang tak merah. Aku diam, kau diam. Rintik hujan riuh bercerita di antara kediaman kita. Lalu matamu merengek mulutku untuk berkisah, aku tuturkan padamu tentang begitu banyak hal. Kau ingat?
Sari, harusnya kau tak ke mana-mana. Tetap setia mennatiku lelah pulang dari setiap perjalanan. Harusnya kau tetap manja menungguku bersama mata kecoklatanmu. Harusnya Sar .. Harusnya ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar