Aku tidak bermaksud
membuat pagi ini menjadi begitu kacau.
Mata anak-anak kos memandangku aneh dan sedikit jijik, sementara aku
hanya bisa nyengir dan berjalan pelan keluar kamar mandi. Sekali lagi pagi ini,
aku tidak bermaksud tertidur di kamar mandi. Aku mulai mendengar sindiran
anak-anak kos mengeras dan memanas ditelinga. Benar, bukan keinginanku untuk
terlalu nyaman tertidur di kamar mandi.
Aku yakin, tidak akan ada yang mau punya kebiasaan
sepertiku, begitu juga aku. Aku sama sekali tidak pernah berharap punya
kebiasaan tertidur di kamar mandi dan merasa nyaman di sana. Bagaimana aku harus mengungkapnya, aku bahkan
merasa bingung dengan keadaanku. Setiap pagi aku bangun, secara tidak sadar dan
sadar aku akan melangkah ke kamar mandi, jongkok di kloset dan tidur lagi. Aku
sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukannya, tapi ujung-ujungnya aku
akan kembali ke kebiasaanku.
Kelak, aku tahu kamu juga akan sangat tidak suka pada
kebiasaanku ini. Tenang, aku akan sedikit demi sedikit berubah. Untukmu apa pun
akan kulakukan bahkan dengan tidak menjadi diriku sendiri. Tapi, setidaknya aku
mohon ajari aku dulu. Ajari aku mengeja pagi, sepertimu melakukannya.
*
“Aku jemput kamu besok pagi jam berapa?” Tanyamu.
“Asal jangan terlalu pagi aku pasti sudah bangun,”
“Aku tidak mau nanti aku ketempatmu dan kamu masih tidur
di kamar mandi!”
“Iya, kamu cerewet sekali. Pokoknya telpon dulu besok
kalau mau berangkat ke kos.”
“Oke,”
Aku tahu hari-hari seperti ini akan datang, ketika
seseorang yang aku sayangi akan membenci kebiasaanku. Aku sudah jauh
memperkirakan hari ini, dikepalaku telah berjajar hari-hari di mana aku akan
menjadi tersiksa antara melawan dan menikmati sebuah kebiasaan. Tapi aku sayang
kamu. Aku janji, besok pagi aku tidak akan tidur di kamar mandi.
*
Hah, lagi dan lagi kuliah yang menjemukan. Dosen tidak
datang tanpa memberi kabar dan kami –mahasiswanya- menerima dengan senang
campur geram. Bosan aku pada ketidakjelasan seperti ini dan dikepalaku mulai
berjajar kemungkinan-kemungkinan yang aku ciptakan sendiri. Mari mengkhayal,
perintah otakku dan segera kusambut dengan riang.
Tiba-tiba kamu muncul dihadapanku ketika sistem otak
kananku merancang berbagai macam niat jahat dan aku terpesona padamu. Pada
pandangan pertama. Makhluk apa kamu? Ajaib sekali membuat system otak kanan dan
kiriku menjadi tidak seimbang seketika. Apa yang terjadi? Aku jatuh cinta? Ini
aneh sekali, aku tak mengerti bagaimana bangunan keanehan mulai merambatkan
getar tak terdeteksi didadaku.
“Kamu sedang apa sendirian di sini?” Tanyamu pelan,
matamu bulat dan membahasakan banyak hal.
“Berkhayal, eh, nunggu dosen,”
“Dosennya tidak datang, temen-temenmu sudah pulang
semua,”
“Oh,”
“Aku Gati, kamu?”
“Tirani,”
*
“Kamu sudah bangun?” Suaramu terdengar serak dari
ponselku pagi ini.
“Sudah, kapan ke sini?”
“Hebat, tidak tidur di kamar mandi?”
“Ini buktinya angkat telpon kamu sayang, jam berapa ke
sini?”
“Hehe, iya habis ini ke situ,”
“Oke, hati-hati ya,”
“Sip,”
Setengah mati aku mencegah kakiku melangkah ke kamar
mandi. Aku tahan segala hasrat perut yang terus meronta mengajak badanku
menikmati kamar mandi. Tidak, aku tidak akan melangkahkan kakiku ke sana. Aku
tidak mandi, tidak cuci muka apalagi gosok gigi. Aku juga tidak kencing dan buang
air besar. Yang terpenting bagiku adalah aku ada nanti saat kamu datang
menjemputku. Tak akan kubiarkan kebiasaan sialanku membuatmu menunggu atau
marah.
Dan kamu datang dengan sumringah, tak henti kamu menciumi
pipiku karena senang. Tidakkah kamu lihat bagaimana rupaku menahan beberapa hal
yang harusnya segera dikeluarkan? Aku yakin kamu tak mau melihat. Tak apa, aku
sayang kamu.
*
Entah dengan bagaimana aku menjadi terbiasa denganmu.
Waktu membawa kita yang tak saling mengenal jadi begitu akrab. Dan aku sudah
merencanakan dengan baik bahwa kamu adalah orang yang akan mulai membawaku
pergi dari kebiasaanku. Benar, kamu mulai mengeluhkan kebiasaanku, mulai
mengungkapkan argumen-argumen dengan berbagai macam landasan teori tentang
buruknya kebiasaanku. Aku menerima, tidak lebih dan tidak kurang karena aku memang
merencanakan kamu akan tidak menyukai kebiasaanku. Oke, aku akan mati-matian
berusaha berubah.
“Jangan tidur malam-malam, besok ketiduran di kamar mandi
lagi lho,” Tulismu dipesan singkat untukku.
“Hehe, iya, ini mau tidur,”
“Oke, jangan tidur di kamar mandi ya?”
“Iya,”
Ah, kamar mandi di pagi hari adalah keindahan luar biasa
bagiku. Bertahun-tahun aku megeja pagiku bersama kamar mandi. Tapi kamu
orangnya, yang sengaja aku pilih untuk menghentikan ejaan pagiku yang mungkin
kurang tepat. Iya, aku akan mengubahnya.
*
Pagi
ini kamu begitu hangat menggandeng tanganku. Kamu tak berhenti bercerita banyak
hal sementara aku sibuk mencerna setiap kata-katamu. Pagi hari selalu menjadi
waktuku yang aneh, otakku akan mengalami kemunduran dan daya mengertiku akan
menjadi turun berpuluh-puluh persen. Kamar mandi, aku ingin ke sana.
“Bagaimana? Sudah pandai mengeja pagi dengan caraku?”
Tanyamu kemudian.
“Lumayan, sedang belajar tapi aku sudah tak pernah tidur
di kamar mandi.”
“Kamu pasti bisa kalau mau mencoba. Kenapa tidak dari
dulu mencoba?
“Dulu tidak ada kamu,”
“Apa bedanya?”
“Beda saja,”
“Ya apa?”
“Aku terangkan nati malam ya?”
“Kenapa tidak sekarang?”
“Pagi hari adalah waktumu untuk bercerita dan aku
mendengarkan. Bagaimana? Begitu cara baruku mengeja pagi,”
“Baiklah, aku setuju,”
Kamu tidak pernah tahu tentang bagaimana kepalaku sangat
sulit mencerna ceritamu tiap pagi. Tapi aku suka, suka karena lama-kelamaan aku
benar-benar jauh dari kebiasaanku. Kamar mandi pagi hari tak lagi seindah dulu,
banyak hal menjadi berubah. Kamu, karena aku sayang kamu.
*
Masih begitu pagi ketika kamu muncul di depan pintu
kamarku. Aku kaget, langkah kakiku menuju surga kamar mandi tercekat. Ada surga
lain di depan mataku. Kamu tersenyum, manis sekali. Tanganmu kosong tak membawa
apa-apa. Apa peduliku? Mata bulat penuh ceritamu adalah segalanya bagiku.
“Ada apa?” Sedikit gugup aku bertanya.
“Kaget ya?”
“Iya, ada apa ke sini?”
“Menuruti permintaanmu,”
“Heh? Apa ?”
“Mengeja pagi dengan caraku,”
-Aku terpesona lagi. Ajaib.-
*
Pagi yang cemas karena kamu tak kunjung datang mengejakan
pagi untukku. Penuh gelisah aku menunggu. Berbagai kemungkinan dari yang buruk
hingga sangat buruk mampir dikepalaku. Di mana kamu? Lupakah pada pagi harimu
yang milikku? Cemas dan jengah aku terus menunggu sampai ponselku bergetar
menampilan namamu.
“Halo, kamu di mana?”
“Aku tidak bisa datang,”
“Tapi kenapa?” Setengah berteriak aku bertanya.
“Tidak bisa, tidak hari ini dan besok atau besoknya
lagi.”
“Kamu mau pergi?”
Tak pernah ada jawaban darimu tapi aku sudah mengerti
maksudmu. Aku ingin berhenti menanyakan kenapa. Sudahlah, tidak ada gunanya
juga bertanya. Kamu pergi, itu saja. Tidakkah kamu lihat? Aku tak lagi tidur di
kamar mandi. Aku tidak lagi mengeja pagi bersama kamar mandi. Aku berubah dan ternyata
kamu juga berubah. Ah, dengan atau tidak aku lepas dari kebiasaanku tetap tak
menjamin kamu akan tetap di sini. Aku telah memilihmu sebagai orang yang
mengubah caraku mengeja pagi. Tapi kenapa? Kamu pergi bahkan sebelum aku
selesai mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar