Sunyi. Aku menoleh ke luar jendela yang begitu sepi. Tidak
ada angin berbisik, tak ada burung mencercit , bumi terasa bisu dan
kelu. Hampir satu jam aku tenggelam dalam pagi yang begitu hening. Tulang-tulang
kakiku terasa lemas, bahkan rasanya aku tak punya kekuatan mengangkat pantatku
dari kursi kursi kayu di rumahku.
Beberapa
suara tiba-tiba menelusup ketelinga, dari berbagai lintasan waktu.
“Kita
dikejar waktu, sebulan lagi kita harus pentas!!”
Suara
pertama terdengar keras, terucap lantang dari seorang perempuan. Aku bisa
membayangkan wajah si empunya suara yang akhir-akhir ini mengejarku dengan
jadwal pementasan.
“Kucingmu
sakit Nduk, sejak kepulanganmu yang terakhir itu dia belum mau makan banyak. Kamu
tidak pulang?”
Suara
kedua terdengar bergetar dan tua. Ibuku, pemilik suara itu. Jelas akhirnya aku
pun pulang. Selain mengkhawatirkan kucingku, aku juga sangat ingin di rumah. Menikmati
sunyi yang kelu.
Suasana
rumah sepi pagi ini, ditinggal penghuninya merasai hari, kecuali aku. beberapa
novel, koran, majalah tertumpuk pasrah di depanku, aku tak bernafsu. Sedari tadi
aku hanya meletakkan kepalaku pada sandaran kursi dan menatap ke luar. Pepohonan
disekitar rumahku masih begitu saja sejak aku kecil, rimbun sekali. Tapi beberapa
hal berubah, dulu ada banyak bajing yang berkeliaran, sekarang entah ke mana
bajing-bajing itu. Kata Bapak, Bagong tetanggaku yang gondrong rajin membawa
bedil keliling kampung. Mungkin dialah penyebab hilangnya bajing-bajing itu.
Suara-suara
dari dimensi-dimensi waktu kembali menggedor-gedor telinga dan menusuk-nusuk dadaku.
Aku menarik nafas yang rasanya tercekat. Ah,,,
“Bagaimana
tulisanmu? Sudah selesai? Jangan lupa edisi bulan depan,”
Suara
yang ini terdengar riang, aku tersenyum mengingat tulisanku yang tak kunjung rampung.
Tak apa, biar penulis-penulis lain yang mengisi bulletin edisi bulan depan. Imajinasiku
sedang mandek, tak bisa keluar dari kurungan yang itu-itu melulu. Tidak akan
jadi tulisan yang bagus jika aku paksakan.
“Bagaimana
kumpulan cerpennya? Sudah selesai kamu baca? Bagus kan?”
Pemilik
suara ini bertubuh kurus kering, senyumnya lebar. Aku teringat pada buku yang
ia pinjamkan, bukan, buku yang ia paksakan padaku untuk membaca. Aku bahkan
baru tahu kalau buku itu sebuah kumpulan cerpen.
“Penulisnya
menggunakan gaya bahasa yang sederhana sekali. Ada satu bagian yang aku sangat
suka, yang menceritakan tokoh aku yang tak bisa lepas dari kehidupan masa
lalunya. Bagaimana menurutmu? Ada yang kamu suka?”
Aku
tersenyum kecut, suara itu berakhir kekecewaan karena aku hanya menggeleng
pelan. Wajah temanku itu berubah lesu dan pergi mencangklong tas punggungnya. Aku
hanya bisa melihat punggung dengan tas itu pergi tanpa bisa berkata apa-apa. Aku
menyesal.
“Musik
untuk pementasan drama kita masih nol, bagaimana?”
Aku
mengkerut mendengar suara itu menggelitik sampai kepalaku. Pusing, pusing
sekali rasanya. Aku ingat ekspresiku waktu itu hanya tersenyum meyakinkan. Padahal
aku belum menemukan jalan keluar. Ah, entah dululah saat ini.
Seorang
Ibu terlihat berjalan di halaman rumahku sambil menggendong anaknya. Aku melihatnya
dari kaca jendela yang memang sengaja kubuka lebar-lebar. Aku tidak tahu nama
Ibu itu, ia seorang tetangga baru. Tapi aku cukup mengenal suaminya, Kang Tarto.
Kang
Tarto terkenal pendiam, ia belum juga menikah sampai usianya hampir menginjak
kepala empat. Lalu tiba-tiba ia memutuskan menikahi seorang janda beranak satu.
Beberapa orang mengucap syukur, beberapa lainnya membisikkan keluhan. Aku miris,
beberapa orang masih saja memaksakan pakem kehidupan mereka pada orang lain.
Aneh!!
“Hidup
hanya menunda kekalahan, kata Chairil, sedang kita terus menunda perpisahan,”
Suara
itu, dari dimensi waktu yang begitu jauh masuk kesendi-sendi tulangku,
melemaskan seluruh sarafku. Aku bahkan sudah lupa cara membayangkan rupa si
empunya suara, aku hanya bisa menangkap suasana. Aku menekuk kakiku, merasakan
beberapa bagian tubuhku bergetar. Ah hidup ini, aku teringat pada satu hal yang
diajarkan hidup ini padaku. Perbedaan.
Pagi
masih begitu kelu sementara suara-suara semakin ramai menghajarku. Hah, aku
mencoba lepas dari ingatan itu dan suara-suara lain datang berhamburan.
“Kamu
kenapa?”
“Aku
tidak tahu aku kenapa,”
“Terus
kita bagaimana?”
“Aku
juga tidak tahu,”
Dialog
itu mendengung-dengung seperti nyamuk kelaparan ditelingaku. Tentu aku masih
ingat dengan siapa aku berdialog. Rekaman adegan dan suara kembali terputar
pelan menarikku jauh.
“Kamu
maunya apa?”
“Aku
juga tidak mengerti,”
Ah,
Tuhan. Kenapa beberapa orang berbohong? Kenapa beberapa orang tidak berkata
yang sebenarnya saja agar lebih mudah? Tidak mengerti? Haha, klise sekali. Padahal
kita, bukan, aku dan kamu, bukan lagi, aku dan dia, ah masih bukan lagi,
seseorang dan orang lain sama-sama tahu yang terjadi. Kenapa masih pura-pura
tidak mengerti? Padahal hari itu aku butuh seseorang mengakuinya, aku butuh
pengakuan.
“Apa
ada??”
“Tidak
ada,”
Harapanku
tentang sebuah pengakuan hilang dari selesainya proses pembidanan suara itu. Ya
sudahlah, ada pengakuan atau tidak sudah tidak penting lagi akhirnya. Aku meringis
mengingat suara-suara itu. Aku kembali pada pertanyaanku sendiri. Kenapa
beberapa orang berbohong? Jawabannya sederhana, karena beberapa orang lainnya
adalah penikmat kebohongan.
Detak
jarum jam di dinding terdengar begitu keras. Aku terpaksa ikut menghitung
second demi second waktu yang berlalu. Tiba-tiba aku teringat aku sedang begitu
menginginkan sepeda. Aku tersenyum mengingat rencanaku merayu Bapak. Aku hampir berdiri ketika sebuah suara
terdengar pelan.
“Yang mati biarlah mati, let to dead be
dead.”
-Aku tersenyum, bangkit-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar