Bacaaa yuuukkk ....

Belajar ,, dari yang biasa .. biasa saajjjaaaa ,, sampe jadi luarr biasaa ..

Minggu, 28 Oktober 2012

Suara-suara pada Jum'at Pagi

        Sunyi. Aku menoleh ke luar jendela yang begitu sepi. Tidak ada angin berbisik, tak ada burung mencercit   , bumi terasa bisu dan kelu. Hampir satu jam aku tenggelam dalam pagi yang begitu hening. Tulang-tulang kakiku terasa lemas, bahkan rasanya aku tak punya kekuatan mengangkat pantatku dari kursi kursi kayu di rumahku.
            Beberapa suara tiba-tiba menelusup ketelinga, dari berbagai lintasan waktu.
            “Kita dikejar waktu, sebulan lagi kita harus pentas!!”
            Suara pertama terdengar keras, terucap lantang dari seorang perempuan. Aku bisa membayangkan wajah si empunya suara yang akhir-akhir ini mengejarku dengan jadwal pementasan.



            “Kucingmu sakit Nduk, sejak kepulanganmu yang terakhir itu dia belum mau makan banyak. Kamu tidak pulang?”
            Suara kedua terdengar bergetar dan tua. Ibuku, pemilik suara itu. Jelas akhirnya aku pun pulang. Selain mengkhawatirkan kucingku, aku juga sangat ingin di rumah. Menikmati sunyi yang kelu.
            Suasana rumah sepi pagi ini, ditinggal penghuninya merasai hari, kecuali aku. beberapa novel, koran, majalah tertumpuk pasrah di depanku, aku tak bernafsu. Sedari tadi aku hanya meletakkan kepalaku pada sandaran kursi dan menatap ke luar. Pepohonan disekitar rumahku masih begitu saja sejak aku kecil, rimbun sekali. Tapi beberapa hal berubah, dulu ada banyak bajing yang berkeliaran, sekarang entah ke mana bajing-bajing itu. Kata Bapak, Bagong tetanggaku yang gondrong rajin membawa bedil keliling kampung. Mungkin dialah penyebab hilangnya bajing-bajing itu.
            Suara-suara dari dimensi-dimensi waktu kembali menggedor-gedor telinga dan menusuk-nusuk dadaku. Aku menarik nafas yang rasanya tercekat. Ah,,,
            “Bagaimana tulisanmu? Sudah selesai? Jangan lupa edisi bulan depan,”
            Suara yang ini terdengar riang, aku tersenyum mengingat tulisanku yang tak kunjung rampung. Tak apa, biar penulis-penulis lain yang mengisi bulletin edisi bulan depan. Imajinasiku sedang mandek, tak bisa keluar dari kurungan yang itu-itu melulu. Tidak akan jadi tulisan yang bagus jika aku paksakan.
            “Bagaimana kumpulan cerpennya? Sudah selesai kamu baca? Bagus kan?”
            Pemilik suara ini bertubuh kurus kering, senyumnya lebar. Aku teringat pada buku yang ia pinjamkan, bukan, buku yang ia paksakan padaku untuk membaca. Aku bahkan baru tahu kalau buku itu sebuah kumpulan cerpen.
            “Penulisnya menggunakan gaya bahasa yang sederhana sekali. Ada satu bagian yang aku sangat suka, yang menceritakan tokoh aku yang tak bisa lepas dari kehidupan masa lalunya. Bagaimana menurutmu? Ada yang kamu suka?”
            Aku tersenyum kecut, suara itu berakhir kekecewaan karena aku hanya menggeleng pelan. Wajah temanku itu berubah lesu dan pergi mencangklong tas punggungnya. Aku hanya bisa melihat punggung dengan tas itu pergi tanpa bisa berkata apa-apa. Aku menyesal.
            “Musik untuk pementasan drama kita masih nol, bagaimana?”
            Aku mengkerut mendengar suara itu menggelitik sampai kepalaku. Pusing, pusing sekali rasanya. Aku ingat ekspresiku waktu itu hanya tersenyum meyakinkan. Padahal aku belum menemukan jalan keluar. Ah, entah dululah saat ini.
            Seorang Ibu terlihat berjalan di halaman rumahku sambil menggendong anaknya. Aku melihatnya dari kaca jendela yang memang sengaja kubuka lebar-lebar. Aku tidak tahu nama Ibu itu, ia seorang tetangga baru. Tapi aku cukup mengenal suaminya, Kang Tarto.
            Kang Tarto terkenal pendiam, ia belum juga menikah sampai usianya hampir menginjak kepala empat. Lalu tiba-tiba ia memutuskan menikahi seorang janda beranak satu. Beberapa orang mengucap syukur, beberapa lainnya membisikkan keluhan. Aku miris, beberapa orang masih saja memaksakan pakem kehidupan mereka pada orang lain. Aneh!!
            “Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil, sedang kita terus menunda perpisahan,”
            Suara itu, dari dimensi waktu yang begitu jauh masuk kesendi-sendi tulangku, melemaskan seluruh sarafku. Aku bahkan sudah lupa cara membayangkan rupa si empunya suara, aku hanya bisa menangkap suasana. Aku menekuk kakiku, merasakan beberapa bagian tubuhku bergetar. Ah hidup ini, aku teringat pada satu hal yang diajarkan hidup ini padaku. Perbedaan.
            Pagi masih begitu kelu sementara suara-suara semakin ramai menghajarku. Hah, aku mencoba lepas dari ingatan itu dan suara-suara lain datang berhamburan.
            “Kamu kenapa?”
            “Aku tidak tahu aku kenapa,”
            “Terus kita bagaimana?”
            “Aku juga tidak tahu,”
            Dialog itu mendengung-dengung seperti nyamuk kelaparan ditelingaku. Tentu aku masih ingat dengan siapa aku berdialog. Rekaman adegan dan suara kembali terputar pelan menarikku jauh.
            “Kamu maunya apa?”
            “Aku juga tidak mengerti,”
            Ah, Tuhan. Kenapa beberapa orang berbohong? Kenapa beberapa orang tidak berkata yang sebenarnya saja agar lebih mudah? Tidak mengerti? Haha, klise sekali. Padahal kita, bukan, aku dan kamu, bukan lagi, aku dan dia, ah masih bukan lagi, seseorang dan orang lain sama-sama tahu yang terjadi. Kenapa masih pura-pura tidak mengerti? Padahal hari itu aku butuh seseorang mengakuinya, aku butuh pengakuan.
            “Apa ada??”
            “Tidak ada,”
            Harapanku tentang sebuah pengakuan hilang dari selesainya proses pembidanan suara itu. Ya sudahlah, ada pengakuan atau tidak sudah tidak penting lagi akhirnya. Aku meringis mengingat suara-suara itu. Aku kembali pada pertanyaanku sendiri. Kenapa beberapa orang berbohong? Jawabannya sederhana, karena beberapa orang lainnya adalah penikmat kebohongan.
            Detak jarum jam di dinding terdengar begitu keras. Aku terpaksa ikut menghitung second demi second waktu yang berlalu. Tiba-tiba aku teringat aku sedang begitu menginginkan sepeda. Aku tersenyum mengingat rencanaku merayu Bapak.  Aku hampir berdiri ketika sebuah suara terdengar pelan.
            “Yang mati biarlah mati, let to dead be dead.”
              -Aku tersenyum, bangkit-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar