Bacaaa yuuukkk ....

Belajar ,, dari yang biasa .. biasa saajjjaaaa ,, sampe jadi luarr biasaa ..

Sabtu, 23 Agustus 2014

Alfarico Bramantaris

23 Agustus 2014

            Ini adalah dua minggu pertama aku menjadi pendampingmu. Bukan hal yang mudah malah sangat sulit. Di minggu pertama aku hampir menyerah kalau Ibuku tak mengirimku pesan agar bertahan setidaknya sebulan. Anak Berkebutuhan Khusus adalah hal yang baru bagiku. Seharusnya aku tidak mendampingimu jika sodaraku itu tidak tiba-tiba diterima bekerja di luar pulau dan harus mencari pengganti. Juga jika ia tidak menawari perkejaan ini ke Ibuku. Ibuku, yang dirundung pilu karena anaknya tak kunjung lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang bagus langsung bersemangat. Dan aku harus menerima pekerjaan ini Rico, mendampingimu hampir setiap hari kecuali hari Minggu.

            Rico, Mamahmu adalah malaikat. Aku tak bisa menerjemahkannya, kegelisahan dan ketakutannya akan perkembanganmu di sekolah merupakan ketakutan tersendiri pula untukku. Setiap hari jika ia datang menjemputmu dari sekolah, lalu bertanya bagaimana Rico hari ini? Sesekali aku ingin berbohong, mengatakan bahwa kamu pintar tapi hal itu tak kunjung kulakukan. Aku justru semakin takut membuatnya terluka. Malaikat itu setia mengantar dan menjemputmu ke sekolah setiap hari. Sementara aku hampir saja menyerah di minggu pertama mendampingimu.

             Rico, aku membenci Mbak Lela. Kamu mungkin tahu, pendamping Hanif itu entah kenapa selalu bersikap tak ramah padamu. Dia kasar, padahal kau anak kecil. Dia tak ramah, terutama padamu kukira. Aku sering tak paham kenapa ia tak suka jika kamu menyentuhnya. Karena kamu terlambat dalam belajar? Harusnya itu bukan alasan karena ia juga seorang pendamping ABK. Apapun itu Rico, aku tak mengijinkan ia berkata-kata tak ramah padamu. Tak usah kita mendengar cibiran orang, kita akan berjalan sendiri.


Kamis, 05 Juni 2014

Kamu yang Pemarah

6 Juni jam 01.00, dini hari ..

Kamu memang pemarah, kita sudah sangat sering membicarakannya. Kalau kita sedang baik, maksudku kita sedang kondisi tidak bertengkar kamu tentu akan membuatnya menjadi bahan tertawa. Tentu berbeda kalau kita sedang bertengkar, kamu akan semakin marah jika aku mengatakannya. Kamu itu pemarah, kadang aku merasa itu sudah sangat berlebihan. 

Kamu marah seringkali bukan karena sikap atau kesalahanku. Tapi ketika kamu marah pada suatu hal maka secara otomatis kamu akan marah-marah, juga kepadaku. Aku pernah marah pada sahabatku, aku pernah marah karena tak lulus toefl, aku pernah marah karena banyak hal lain tapi aku akan marah padamu kalau kamu membuat aku tak nyaman atau kamu melakukan hal yang membuat aku marah. Bukan karena hal lain, berbeda bukan? 

Maaf, aku justru membandingkan perbedaan kemarahan kita. Padahal bukan itu yang ingin ku tuliskan sebenarnya. 

Kamu marah lagi hari ini padaku, juga karena sebab alasan yang sebenarnya bukan berhubungan langsung denganku. Sebenarnya aku sedih. Jika kamu sedang marah-marah lalu aku mencoba mendinginkan perasaanmu bukan karena aku ingin terlihat "sok baik" atau pencitraan apapun. Bukan, aku hanya ingin menjadi orang yang mendengarkan dan membuat kamu tak melulu diliputi kemarahan. Tapi kamu terlanjur pemarah tanpa mau perduli pada hal lain lagi. 

Kamu itu pemarah, sangat pemarah. Sampai kadang-kadang aku merasa lelah, bukan padamu tapi pada kemarahanmu. Dunia ini penuh kekecewaan sedang kamu seolah tak mau bersikap terbuka pada kekecewaan. Aku sedang tidak menggurui, sungguh, ini hanya sebuah perhatian yang kadang aku bingung harus bagaimana menyampaikannya padamu. 

Kamu itu pemarah, sangat pemarah. Aku mau mendengarkanmu, tapi kalau kamu bersikap tak mau ku dengarkan, haruskah kusumpal telingaku? Maka berikanlah sebuah sumpalan padaku agar aku tak mendengar apapun lagi, juga kemarahanmu. 





Minggu, 01 Juni 2014

Kepada Mahfud MD


Selamat malam Pak, sebenarnya dini hari ketika saya menuliskan surat ini. Semoga Bapak dan keluarga senantiasa sehat dan diberikan berkah.
Pak Mahfud yang baik, pergolakan politik akhir-akhir ini membuat saya malas membaca berita dan menonton televisi. Apalagi, (jujur) setelah langkah politik Bapak yang menyatakan mendukung Prabowo-Hatta. Saya memang sangat mengagumi Bapak tapi saya tahu saya tidak bisa memaksakan bahwa Bapak akan mengambil keputusan seperti yang saya harapkan.
Bapak adalah seorang negarawan yang baik dan muslim yang taat dimata saya. Dan saya selalu berharap kesehatan atas Bapak agar memudahkan Bapak dalam memperjuangkan cita-cita Bapak demi Indonesia yang kita cintai.
Pasti ada fakta sejarah dibalik pengambilan sebuah keputusan. Bagi saya, tak mungkinlah seorang Mahfud MD mengambil keputusan atas dasar kebencian atau balas dendam seperti banyak yang dicitrakan media. Tapi toh, Bapak pun manusia biasa yang memiliki kekurangan meski kami berharap begitu banyak pada Bapak.
Pak Mahfud yang baik hati, semoga Bapak dan keluarga senantiasa diberikan limpahan berkah dan kesehatan. Beberapa kali di media sosial saya sudah mengungkapkan kekecewaan saya pada Bapak, atas langkah politik Bapak. Kemudian pada akhirnya saya menyadari sesuatu, Bapak tentu sedang tidak menukar idealisme bapak dengan perahu lain. Bapak hanya sedang melakukan kewajiban Bapak sebagai manusia biasa bukan? Saya sudah terjangkiti demam manusia modern yang mengharapkan segala sesuatu selalu lengkap dengan jalan keluarnya sekaligus.
Kadangkala saya harus sedih jika membaca di sana sini semakin banyak yang memberikan komentar buruk terhadap Bapak. Tentang itu, saya pun harus bersikap maklum karena saya juga tak bisa memaksa seluruh kepala sependapat dengan saya. Maksud saya, untuk menghormati bagaimana keputusan Bapak dalam langkah politik.

Bapak Mahfud, jalan masih begitu panjang untuk Indonesia, untuk Pak Mahfud, dan untuk saya. Surat ini tidak bermaksud apa-apa kecuali sedikit harapan bahwa Bapak masih menjadi Pak Mahfud yang saya kagumi. Selalu, semoga Bapak dan keluarga diberikan kesehatan. 

Rabu, 02 April 2014

Sebuah Sore di Perpustakaan Kota Yogyakarta

Orang di sebelah saya berisik sekali, saya tidak kenal. "Dari UGM," Katanya tadi saat ia basa-basi memperkenalkan diri. Kemudian ia lebih banyak mengeluh ketimbang berbagi pengalaman, aku banyak mendiamkan dan sesekali tertawa seikhlasnya.

Selamat sore,

Saya benci setiap kali menyadari matahari diujung sana telah pergi dan saya masih bukan sebagai sebuah pertimbangan untuk sekedar memulai hari esok pagi.
Maka langkah kaki yang terburu-buru akan menjadi jawaban yang teramat membosankan seperti biasanya.

Kalau kau pernah merasa sangat berarti dan sekarang tidak lagi. Harusnya kau segera mengunci pintu dan berhenti memanggil.

Selasa, 25 Maret 2014

Kunci

Teman adalah kumpulan kekurangan, dan teman adalah kumpulan penerimaan.

Suatu hari aku kehilangan kunci, entah dimana jatuhnya. Semua bermuara dari kalimat yang mengalir deras lalu kunciku hilang. Aku sudah mencoba mencarinya, bersama banyak pengakuan. Aku sudah mencoba mencarinya, bersama banyak penerimaan.

Tapi kunciku hilang, dan hatiku tergembok. Lantaran aku juga manusia biasa.

Senin, 10 Februari 2014

Sudah pagi lagi

Selamat pagi bagi yang terburu-buru, atau bagi yang sedang lupa untuk berburu-buru ...

Di sini, saya bisa melihat seorang tetangga yang setiap paginya menggendong anaknya, perempuan setengah baya dengan kulit kehitaman yang sesekali mencium pipi mungil anaknya. Atau dua anak kembar kecil yang terus berlari kesana kemari tanpa lelah. Kalau mereka anak orang punya, mereka pasti tengah duduk dibangku PAUD bersama ibu-ibu guru mereka yang asyik menyanya menyinyi. Atau sekarang kebanyakan bersama guru-guru cetakan baru yang menyentuh kanak-kanak dengan sedikit malas. Tak apa, sekolah guru sekarang memang menjadi tidak menarik dan tidak memberi banyak pemahaman.

Selamat pagi, bagi yang terlelap, masih bisa terlelap

Dalam tidur pagi sesekali kita bisa bermimpi. Mengharapkan dihinggapai mimpi ini itu, meski sesekali kita tergagap ketika terbangun. Atau segera bisa biasa saja dan menyeduh kopi dengan bahagia. Selamat, yang begitu berarti hidup tengah indah-indahnya. Karena dihari berikutnya semua bisa berubah. Siapa yang tahu? Waktu per detik adalah perubahan dengan kecepatan yang tiada tara bandingannya.

Selamat pagi, mereka-mereka yang tengah sibuk di pasar.

Menikmati keruwetan pasar dengan becek sana sini bekas sisa hujan kemarin malam. Aliran air selalu saja tak beres, yang harusnya mengurus terlalu sibuk dengan ana inu yang entahlah, begitu menyita perhatian mereka. Lalu uang-uang bayaran mereka yang berapa ribu rupiah perminggunya itu, menjadi sia-sia. Menguap bersama kepulan knalpot motor bebek yang terus diproduksi secara besar-besaran.

Selamat pagi, yang masih menikmati pagi, yang melupakan pagi.

Minggu, 09 Februari 2014

Bagaimana nanti aku bisa?



Bertambah dewasa dengan usia yang semakin merangkak dengan bergelisah imajinasiku serasa dibawa ke masa depan. Aku perempuan, maka sewajarnya perempuan lain kemudian akan menikah dan memiliki anak. Itu biasa saja, semua perempuan di lingkunganku dan pada masanya nanti mulai memikirkan hal-hal sewajar itu. Itu sangat biasa saja.
            Ah, lagi pula aku suka sekali melihat anak kecil, menimang-nimang mereka. Lagi pula aku selalu senang melihat keluarga kecil yang nampak berbahagia. Memulai rencana-rencana kecil, membangun masa depan dengan cerah. Lagi pula semua perempuan di lingkunganku akan mengalami masa yang sama. Kami akan kawin lalu beranak pinak. Kemudian menyandang gelar baru sebagai ibu.
            Dibuku-buku ensiklopedia, di buku-buku pelajaran, di dongeng-dongeng kanak-kanak, aku banyak terbuai tentang mulianya seorang ibu. Bagaimana besar jasa ibu, bagaimana mereka menjadi tonggak kebesaran jaman. Mereka tokoh balik layar kesuksesan masa depan. Mengaca pada ibuku yang begitu lugu dan sederhana mewariskan sedikit pengertian masa lalunya untuk pemahaman jaman berkembang kepadaku.
            Lalu tiba padaku. Aku biasa saja, semua perempuan toh pada akhirnya akan menyusui anak mereka dengan puting-puting pemahaman mereka. Sekedarnya, ala kadanya, atau pura-pura luar biasa.
            Tapi apa nanti yang bisa aku wariskan kepada jabang bayi yang mungkin lahir dari garbaku?
            Aku tumbuh di jaman yang dimana daging adalah keutamaan. Bungkus-bungkus mulai menjadi jauh lebih mahal dari pada rasa yang didapat. Bagaimana bisa aku mewariskan budaya daging sementara aku berkecamuk tumbuh didalamnya. Bagaimana bisa aku memberi menu utama perkembangan anakku nanti sesuatu yang berasa, bila jaman ibunya adalah jaman semua orang memuja daging. Ah.
            Apa yang bisa aku wariskan kepada mereka nanti?
            Mungkinkah modernitas yang semakin lama semakin memuakkan dan membelenggu manusia dalam hidup yang begitu Ab Ab ? bagaimana bisa aku menyuapi sarapan kepada bayi merah itu dengan layar-layar elektronik yang setiap harinya terlalu banyak berisi kepura-puraan dan kebohongan.  
            Apa yang bisa kau wariskan kepada anakku nanti?
            Budaya yang begitu penuh keglamoran? Ketika kesederhanaan menjadi sesuatu yang dianggap perlu diasingkan. Dimana semua orang berlomba-lomba menjadi seperti kebanyakan orang lain dengan mengikuti citra-citra yang sengaja diciptakan segelintir orang. Haruskan aku mewariskan pada anakku nanti? Jika yang kuwariskan adalah premature dari sebuah kepanikan modernitas.

Setidaknya itu masih akan menjadi waktu yang jauh dariku sekarang, mungkin aku masih mempunyai waktu untuk menyiapkan pemahaman. Atau sekedar menambah kegelisahan? Selamat pagi, mereka yang senantiasa masih mau berpikir.