Bertambah dewasa dengan
usia yang semakin merangkak dengan bergelisah imajinasiku serasa dibawa ke masa
depan. Aku perempuan, maka sewajarnya perempuan lain kemudian akan menikah dan
memiliki anak. Itu biasa saja, semua perempuan di lingkunganku dan pada masanya
nanti mulai memikirkan hal-hal sewajar itu. Itu sangat biasa saja.
Ah, lagi pula aku suka sekali melihat anak kecil, menimang-nimang
mereka. Lagi pula aku selalu senang melihat keluarga kecil yang nampak
berbahagia. Memulai rencana-rencana kecil, membangun masa depan dengan cerah.
Lagi pula semua perempuan di lingkunganku akan mengalami masa yang sama. Kami
akan kawin lalu beranak pinak. Kemudian menyandang gelar baru sebagai ibu.
Dibuku-buku ensiklopedia, di buku-buku pelajaran, di
dongeng-dongeng kanak-kanak, aku banyak terbuai tentang mulianya seorang ibu.
Bagaimana besar jasa ibu, bagaimana mereka menjadi tonggak kebesaran jaman.
Mereka tokoh balik layar kesuksesan masa depan. Mengaca pada ibuku yang begitu
lugu dan sederhana mewariskan sedikit pengertian masa lalunya untuk pemahaman
jaman berkembang kepadaku.
Lalu tiba padaku. Aku biasa saja, semua perempuan toh
pada akhirnya akan menyusui anak mereka dengan puting-puting pemahaman mereka.
Sekedarnya, ala kadanya, atau pura-pura luar biasa.
Tapi apa nanti yang bisa aku wariskan kepada jabang bayi
yang mungkin lahir dari garbaku?
Aku tumbuh di jaman yang dimana daging adalah keutamaan.
Bungkus-bungkus mulai menjadi jauh lebih mahal dari pada rasa yang didapat.
Bagaimana bisa aku mewariskan budaya daging sementara aku berkecamuk tumbuh
didalamnya. Bagaimana bisa aku memberi menu utama perkembangan anakku nanti
sesuatu yang berasa, bila jaman ibunya adalah jaman semua orang memuja daging.
Ah.
Apa yang bisa aku wariskan kepada mereka nanti?
Mungkinkah modernitas yang semakin lama semakin memuakkan
dan membelenggu manusia dalam hidup yang begitu Ab Ab ? bagaimana bisa aku
menyuapi sarapan kepada bayi merah itu dengan layar-layar elektronik yang
setiap harinya terlalu banyak berisi kepura-puraan dan kebohongan.
Apa yang bisa kau wariskan kepada anakku nanti?
Budaya yang begitu penuh keglamoran? Ketika kesederhanaan
menjadi sesuatu yang dianggap perlu diasingkan. Dimana semua orang
berlomba-lomba menjadi seperti kebanyakan orang lain dengan mengikuti
citra-citra yang sengaja diciptakan segelintir orang. Haruskan aku mewariskan
pada anakku nanti? Jika yang kuwariskan adalah premature dari sebuah kepanikan
modernitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar