Saya masih duduk di kelas 3 SD ketika Abdurrahman Wahid dilantik sebagai Presiden RI. Saya tidak mengerti apa-apa, kecuali keluarga besar saya terlihat senang. Dulu aku tak peduli, permainan kanak-kanak jauh lebih menarik perhatian saya.
Waktu berlari seperti pelari maraton yang terus melaju tanpa sempat menoleh kebelakang. Semua adalah persaingan, semua adalah menang dan kalah. Begitu waktu membawa usia kanak-kanakku menjadi remaja kemudian dewasa. Mulai beranjak dari permainan kanak-kanak ke semakin banyak lagi perkara lain. Dan permainan kanak-kanak kini mejadi begitu asing digantikan begitu banyak kebisingan dan keributan.
Gus Dur. Saya menjadi begitu tertarik kepadanya, bukan karena begitu banyak media cetak yang menuliskan tentang bagaimana ia menjadi pejuang pluralisme. Bukan. Tapi ketika dalam sebuah tayangan televisi setelah pelengseran paksanya dari kuri kepresidenan, ia menyatakan kalimat yang selama ini saya cari kemana pun tak saya temukan. Kalimat, yang memnuhi kehausan saya selama 22 tahun kehidupan saya.
"Pak Harto itu pintar sekali, jasanya begitu banyak untuk bangsa ini, tapi dosanya juga begitu besar," katanya disambut tawa penonton di studi TV swasta itu.
Aku terpukau, aku mencoba mencari begitu banyak kalimat, begitu banyak kata tapi aku seolah selalu berujung pada kekosongan. Lama sekali Pak Harto mejadi tokoh idola saya, sekaligus tokoh yg membuat saya benci karena dosa politiknya pada bangsa ini. Lalu saya tahu, pada akhirnya kita tak bisa melihat sesuatu hanya dari bungkusnya, tapi substansinya.
#Bersambung #NyambiNguli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar