Selamat pagi bagi yang terburu-buru, atau bagi yang sedang lupa untuk berburu-buru ...
Di sini, saya bisa melihat seorang tetangga yang setiap paginya menggendong anaknya, perempuan setengah baya dengan kulit kehitaman yang sesekali mencium pipi mungil anaknya. Atau dua anak kembar kecil yang terus berlari kesana kemari tanpa lelah. Kalau mereka anak orang punya, mereka pasti tengah duduk dibangku PAUD bersama ibu-ibu guru mereka yang asyik menyanya menyinyi. Atau sekarang kebanyakan bersama guru-guru cetakan baru yang menyentuh kanak-kanak dengan sedikit malas. Tak apa, sekolah guru sekarang memang menjadi tidak menarik dan tidak memberi banyak pemahaman.
Selamat pagi, bagi yang terlelap, masih bisa terlelap
Dalam tidur pagi sesekali kita bisa bermimpi. Mengharapkan dihinggapai mimpi ini itu, meski sesekali kita tergagap ketika terbangun. Atau segera bisa biasa saja dan menyeduh kopi dengan bahagia. Selamat, yang begitu berarti hidup tengah indah-indahnya. Karena dihari berikutnya semua bisa berubah. Siapa yang tahu? Waktu per detik adalah perubahan dengan kecepatan yang tiada tara bandingannya.
Selamat pagi, mereka-mereka yang tengah sibuk di pasar.
Menikmati keruwetan pasar dengan becek sana sini bekas sisa hujan kemarin malam. Aliran air selalu saja tak beres, yang harusnya mengurus terlalu sibuk dengan ana inu yang entahlah, begitu menyita perhatian mereka. Lalu uang-uang bayaran mereka yang berapa ribu rupiah perminggunya itu, menjadi sia-sia. Menguap bersama kepulan knalpot motor bebek yang terus diproduksi secara besar-besaran.
Selamat pagi, yang masih menikmati pagi, yang melupakan pagi.
Bacaaa yuuukkk ....
Belajar ,, dari yang biasa .. biasa saajjjaaaa ,, sampe jadi luarr biasaa ..
Senin, 10 Februari 2014
Minggu, 09 Februari 2014
Bagaimana nanti aku bisa?
Bertambah dewasa dengan
usia yang semakin merangkak dengan bergelisah imajinasiku serasa dibawa ke masa
depan. Aku perempuan, maka sewajarnya perempuan lain kemudian akan menikah dan
memiliki anak. Itu biasa saja, semua perempuan di lingkunganku dan pada masanya
nanti mulai memikirkan hal-hal sewajar itu. Itu sangat biasa saja.
Ah, lagi pula aku suka sekali melihat anak kecil, menimang-nimang
mereka. Lagi pula aku selalu senang melihat keluarga kecil yang nampak
berbahagia. Memulai rencana-rencana kecil, membangun masa depan dengan cerah.
Lagi pula semua perempuan di lingkunganku akan mengalami masa yang sama. Kami
akan kawin lalu beranak pinak. Kemudian menyandang gelar baru sebagai ibu.
Dibuku-buku ensiklopedia, di buku-buku pelajaran, di
dongeng-dongeng kanak-kanak, aku banyak terbuai tentang mulianya seorang ibu.
Bagaimana besar jasa ibu, bagaimana mereka menjadi tonggak kebesaran jaman.
Mereka tokoh balik layar kesuksesan masa depan. Mengaca pada ibuku yang begitu
lugu dan sederhana mewariskan sedikit pengertian masa lalunya untuk pemahaman
jaman berkembang kepadaku.
Lalu tiba padaku. Aku biasa saja, semua perempuan toh
pada akhirnya akan menyusui anak mereka dengan puting-puting pemahaman mereka.
Sekedarnya, ala kadanya, atau pura-pura luar biasa.
Tapi apa nanti yang bisa aku wariskan kepada jabang bayi
yang mungkin lahir dari garbaku?
Aku tumbuh di jaman yang dimana daging adalah keutamaan.
Bungkus-bungkus mulai menjadi jauh lebih mahal dari pada rasa yang didapat.
Bagaimana bisa aku mewariskan budaya daging sementara aku berkecamuk tumbuh
didalamnya. Bagaimana bisa aku memberi menu utama perkembangan anakku nanti
sesuatu yang berasa, bila jaman ibunya adalah jaman semua orang memuja daging.
Ah.
Apa yang bisa aku wariskan kepada mereka nanti?
Mungkinkah modernitas yang semakin lama semakin memuakkan
dan membelenggu manusia dalam hidup yang begitu Ab Ab ? bagaimana bisa aku
menyuapi sarapan kepada bayi merah itu dengan layar-layar elektronik yang
setiap harinya terlalu banyak berisi kepura-puraan dan kebohongan.
Apa yang bisa kau wariskan kepada anakku nanti?
Budaya yang begitu penuh keglamoran? Ketika kesederhanaan
menjadi sesuatu yang dianggap perlu diasingkan. Dimana semua orang
berlomba-lomba menjadi seperti kebanyakan orang lain dengan mengikuti
citra-citra yang sengaja diciptakan segelintir orang. Haruskan aku mewariskan
pada anakku nanti? Jika yang kuwariskan adalah premature dari sebuah kepanikan
modernitas.
Senin, 03 Februari 2014
Gus Dur, bagaimana saya harus berpendapat?
"Bapak mengajari saya untuk melihat sesuatu bukan dari bungkusnya, tapi dari substansinya," tutur Yenny Wahid, putri pertama mantan Presiden Indonesia itu.
Saya masih duduk di kelas 3 SD ketika Abdurrahman Wahid dilantik sebagai Presiden RI. Saya tidak mengerti apa-apa, kecuali keluarga besar saya terlihat senang. Dulu aku tak peduli, permainan kanak-kanak jauh lebih menarik perhatian saya.
Waktu berlari seperti pelari maraton yang terus melaju tanpa sempat menoleh kebelakang. Semua adalah persaingan, semua adalah menang dan kalah. Begitu waktu membawa usia kanak-kanakku menjadi remaja kemudian dewasa. Mulai beranjak dari permainan kanak-kanak ke semakin banyak lagi perkara lain. Dan permainan kanak-kanak kini mejadi begitu asing digantikan begitu banyak kebisingan dan keributan.
Gus Dur. Saya menjadi begitu tertarik kepadanya, bukan karena begitu banyak media cetak yang menuliskan tentang bagaimana ia menjadi pejuang pluralisme. Bukan. Tapi ketika dalam sebuah tayangan televisi setelah pelengseran paksanya dari kuri kepresidenan, ia menyatakan kalimat yang selama ini saya cari kemana pun tak saya temukan. Kalimat, yang memnuhi kehausan saya selama 22 tahun kehidupan saya.
"Pak Harto itu pintar sekali, jasanya begitu banyak untuk bangsa ini, tapi dosanya juga begitu besar," katanya disambut tawa penonton di studi TV swasta itu.
Aku terpukau, aku mencoba mencari begitu banyak kalimat, begitu banyak kata tapi aku seolah selalu berujung pada kekosongan. Lama sekali Pak Harto mejadi tokoh idola saya, sekaligus tokoh yg membuat saya benci karena dosa politiknya pada bangsa ini. Lalu saya tahu, pada akhirnya kita tak bisa melihat sesuatu hanya dari bungkusnya, tapi substansinya.
#Bersambung #NyambiNguli
Langganan:
Postingan (Atom)